A. Implikasi Cybercrime Terhadap Kejahatan Perbankan di Bank DKI Cabang Pembantu Tebet Jakarta.
Aktivitas perbankan dewasa ini sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari perkembangan teknologi, ini berarti bahwa bank dalam kinerjanya senantiasa bersentuhan dengan teknologi utamanya dengan media komputer. Penanganan berbagai transaksi bisnis perbankan demi menyaingi kompetitor masing-masing menuntut bank untuk lebih meningkatkan pelayanannya kepada para nasabah dan debitur terlebih lagi jika pelayanan tersebut harus lebih bersifat cepat (instant), maka mau tidak mau pihak bank harus mengandalkan sistem komputerisasi yang paling mutakhir baik dari segi perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware)
Pelayanan secara Instant yang ditawarkan oleh pihak bank dirasakan telah memberikan kemajuan pesat dalam peningkatan laba bagi bank itu sendiri, namun di sisi lain dengan kemudahan pelayanan tersebut juga memberikan peluang terjadinya kejahatan di bidang perbankan khususnya kejahatan dunia maya.
Berdasarkan hasil penelitian penulis lakukan di Polda Metro Jaya DKI di bagian Ditreskrimsus Cybercrime, satuan yang khusus menangani masalah kejahatan dunia maya, salah satu kasus kejahatan perbankan yakni pembobolan Bank DKI Cabang Pembantu Tebet Jakarta yang terjadi tahun 2004 ternyata kasus tersebut tidak dikategorikan sebagai kejahatan cybercrime, melainkan dijerat dengan Undang-undang tindak pidana korupsi, padahal dengan melihat modus operandi terjadinya kejahatan maka kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan cybercrime.
Khusus kasus Bank DKI Cabang Pembantu Tebet, di mana salah seorang asisten pelayanan nasabah yang bernama Dwi Norman melakukan pemindah bukuan (transfer) dana sebesar 3,5 Miliyar dari rekening antar kantor fiktif ke rekening pasif, uang itu kemudian diambil melalui kliring maupun tunai atau ATM. Pembobolan tersebut dilakukan dengan menggunakan password Kepala Bank DKI Cabang Pembantu Tebet. Proses penyelesaian hukumnya pun hingga kini masih ditangani oleh Kejaksaan Tinggi DKI sementara tersangka Dwi Norman hingga kini masih menjadi buronan polisi.
Berdasarkan tinjauan pustaka pada Bab II, bahwa kejahatan perbankan terdiri dari dua bentuk kejahatan. Pertama adalah kejahatan konvensional, di mana bank dijadikan sebagai sasaran/tujuan kejahatan, seperti pemalsuan dokumen untuk mengambil kredit dan pemalsuan warkat bank, dan kedua adalah kejahatan non konvensional, di mana bank dijadikan sebagai sarana/alat kejahatan. Dalam hal kasus bank DKI, jenis kejahatannya tergolong kepada kejahatan non konvensional, sebab kejahatan non konvensional ini erat kaitannya dengan kejahatan yang memanfaatkan teknologi/media elektronik,.
Unsur-unsur kejahatan perbankan pada Bank DKI bila ditinjau dari perspektif cybercrime sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan penggunaan komputer
Dalam melakukan aksinya, pelaku menggunakan alat bantu komputer milik bank, dari sinilah terlihat bahwa pelaku menggunakan media komputer untuk tujuan kejahatan di luar prosedur dalam kapasistasnya sebagai asisten pelayanan nasabah bank. Hal ini menurut Andi Hamzah. 2000 menulis bahwa : kejahatan di bidang komputer secara langsung dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.
2. Penyalahgunaan Password
Pentingnya keamanan (security) dalam menjalankan bisnis dunia usaha perbankan menjadi suatu yang mutlak, salah satu cara penanganan security yang hingga kini masih banyak dipakai oleh bank adalah penggunaan password,
Peranan password dalam kasus Bank DKI untuk melindungi sistem keamanan bank tidak dapat dijadikan sebagai perisai, sebab pelaku berhasil mengetahui nama password milik Kepala Cabang Bank DKI Cabang Pembantu Tebet Jakarta dan kemudian password tersebut digunakan untuk mengakses informasi rahasia keuangan Bank DKI.
3. Akses Tanpa Hak
Pelaku dengan jelas menggunakan fasilitas komputer Bank DKI tanpa hak di luar kapasitasnya sebagai pelayanan nasabah bank serta memasuki wilayah-wilayah yang oleh bank kerahasiaannya sangat dilindungi dan ini sesuai dalam KUHP Pasal 552 mengatakan “Barangsiapa tanpa wewenang, berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya, dengan cara jelas dilarang memasukinya diancam dengan denda paling banyak lima belas rupiah. Dan Dalam draft ketiga Rancangan Undang-undang Teknologi Informasi pada pasal 31 mengatakan “barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengakses data komputer atau program komputer atau jaringan komputer dengan atau tanpa merusak sistem keamanan dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah)
4. Melakukan Pemindah bukuan secara illegal
Klimaks dari rangkaian unsur-unsur kejahatan pelaku berpuncak pada pemindah bukuan secara illegal, setelah pelaku menggunakan komputer bank tanpa hak serta menggunakan password Kepala Cabang Bank DKI secara illegal. Dari sinilah kita dapat melihat kejahatan pemindah bukuan oleh pelaku dilakukan dalam sistem internet banking meskipun hal tersebut dilakukan oleh orang dalam sendiri namun locus delictinya terjadi di dalam dunia maya.
Dari uraian di atas tampak bahwa kasus Bank DKI Cabang Pembantu Tebet Jakarta dapat dikategorikan sebagai kejahatan cybercrime, sebab keseluruhan unsur-unsur kejahatannya dilakukan dengan menggunakan fasilitas teknologi komputer dan terjadi di dalam dunia maya.
Berdasarkan hasil penelitian di Polda Metro jaya dengan koresponden Yani (Penyidik Sat. Cybercrime) (wawancara tanggal 25 April 2005), penulis mendapatkan sebuah kasus lain namun masih relevan dengan judul skripsi penulis, yaitu kasus tentang pembobolan Situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2004 lalu. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 April 2004 dengan target situs http://tnp.kpu.go.id, pelaku yang bernama Dani Firmansyah merasakan adrenalinnya terangsang begitu cepat ketika mendengar pernyataan Ketua Kelompok Kerja Teknologi Informasi KPU Chusnul Mar'iyah bahwa sistem keamanan Situs KPU 99.99% aman dari serangan hacker. Maka pelaku pun memulai serangannya ke situs KPU tersebut selama kurang lebih 5 hari hingga ia pun berhasil men-deface tampilan situs KPU dengan mengganti nama-nama partai peserta pemilu. Alur tindak kejahatannya di mulai dari “warnet warna” yang berlokasi di Jogyakarta. Tersangka mencoba melakukan tes sistem security kpu.go.id melalui XSS (Cross Site Scripting) dan Sistem SQL injection dengan menggunakan IP Publik PT. Danareksa 202.158.10.***. Pada layer identifikasi nampk keluar message risk dengan level low (ini artinya web site KPU tidak dapat ditembus),
Pada 17 April 2004 jam 03.12.42 WIB, tersangka mencoba lagi untuk menyerang server KPU dan berhasil menembus IP (tnp.kpu.go,id) 203.130.***.*** serta berhasil update tabel nama partai pada pukul 11.24.16. sampai 11.34.27 WIB. Adapun teknik yang dipakai tersangka melalui teknik spoofing (penyesatan) yaitu tersangka melakukan hacking dari IP 202.158.10.*** kemudian membuka IP proxy Anonimous (tanpa nama) Thailand 208.***.1. lalu masuk ke IP (tnp.kpu.go.id) 203.130.***.*** dan berhasil merubah tampilan nama partai.
Setelah kejadian tersebut tim penyelididik Satuan Cyber Crime Krimsus Polda Metro Jaya yang di ketua oleh AKBP Pol Petrus R Golose mulai melakukan pengecekan atas log file server KPU. Tim penyelidik melakukan penyelidikan dengan cara membalik. "Bukan dari 208.***.1 (server di Thailand) untuk mengetahui apakah pelaku mengakses IP 208.***.1. atau tidak.
Tidak sengaja tim perburuan bertemu dengan seseorang yang kenal dengan Dani di internet ketika sedang chatting. Kemudian tim penyidik menemukan salah satu IP address di log KPU, ada yang berasal dari PT. Danareksa. Lalu belakangan diketahui bahwa seseorang yang diajak chatting dengan polisi untuk mencari informasi tentang Dani tersebut adalah Fuad Nahdi yang memiliki asal daerah yang sama dengan Dani, dan merupakan admin di Warna Warnet. "Jadi nickname-nya mengarah ke Dani dan IP addres-nya mengarah ke tempat kerjanya Dani. Dari hasil investigasi, keluar surat perintah penangkapan atas Dani Firmansyah yang berhasil dibekuk di kantornya di Jakarta.
Ketiadaan undang-undang cyber di Indonesia membuat Dani Firmansyah situs Tabulasi Nasional Pemilu milik KPU dijerat dengan pasal-pasal UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi. Ada tiga pasal yang menjerat adalah sebagai berikut :
1. Dani Firmansyah, hacker situs KPU dinilai terbukti melakukan tindak pidana yang melanggar pasal 22 huruf a, b, c, Pasal 38 dan Pasal 50 UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
2. Pada pasal 22 UU Telekomunikasi berbunyi :
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak,tidak sah atau memanipulasi :
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
3. Selain itu Dani Firmansyah juga dituduh melanggar pasal 38 Bagian ke-11 UU Telekomunikasi yang berbunyi "Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggara telekomunikasi." Internet sendiri dipandang sebagai sebuah jasa telekomunikasi.
Internet dipandang sebagai sebuah jasa telekomunikasi dan diatur di dalam Keputusan Menteri Perhubungan No 21 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Pada pasal 3 berbunyi bahwa Penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri atas :
a. Penyelenggaraan jasa teleponi dasar;
b. Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi;
c. Penyelenggaraan jasa multimedia.
Pada pasal 46 lebih lanjut dijelaskan bahwa sebagaimana dimaksud dengan pasal 3 huruf c, penyelenggaraan jasa multimedia termasuk antara lain :
a. jasa televisi berbayar
b. jasa akses internet (internet service provider);
c. jasa interkoneksi internet (NAP);
d. jasa internet teleponi untuk keperluan publik;
e. jasa wireless access protocol (WAP);
f. jasa portal
g. jasa small office home office (SOHO);
h. jasa transaksi on-line;
i. jasa aplikasi packet-switched selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, f, g dan huruf h.
Ancaman hukuman bagi tindakan yang dilakukan Dani Firmansyah adalah sesuai dengan bunyi pasal 50 UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi berbunyi "Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)."
Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi pada Pasal 38 menyebutkan “Setap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”. Undang-undang tersebut sebetulnya tidak relevan dipakai untuk menjerat hacker, sebab gangguan yang dimaksud adalah gangguan yang bersifat infrasturuktur dan proses transmisi data, bukan mengenai isi (content) informasi.
Alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 (1) adalah sebagai berikut :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.
Mengenai barang bukti digital/elektronik, belum diakui di dalam KUHAP, sehingga memberikan peluang besar terjadinya kejahatan internet secara terus-menerus, padahal bukti elektronik tersebut merupakan bukti utama sebuah tindak kejahatan yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja.
Dalam proses pembuktian kasus Dani, pihak kepolisian dan kejaksaan "mensahkan" bukti elektronik tersebut di hadapan pengadilan dengan cara memproses bukti elektronik tersebut hingga didapatkan hasil akhir dari sebuah sistem komputer. Logiknya adalah sederhana, yaitu input-process-output. Maka bukti elektronik tersebut dapat diubah perwujudannya dalam bentuk hardcopy atau di-print tanpa adanya modifikasi apapun dari manusia. Lalu untuk memperkuatnya, hardcopy tersebut diserahkan kepada saksi ahli untuk dianalisa dan disampaikan tingkat akurasi dan kesahihannya di hadapan pengadilan.
Ini adalah sebuah terobosan baru dalam dunia hukum kita yang sudah barang tentu hal ini tidak mudah, karena pemahaman yang cukup tinggi tentang TI (teknologi informasi) oleh para hakim, jaksa dan polisi untuk menganalisa barang bukti tersebut, mutlak diperlukan.
Akan tetapi persoalan klasik kembali datang menghantui kita, sebab bukti-bukti elektronik/digital yang dihadapkan di muka persidangan hanyalah sebatas “Petunjuk” yang kesahihannya harus dikuatkan oleh keterangan saksi dan saksi ahli bukan sebagai barang bukti, sebab sistem hukum kita belum mengenal alat bukti digital, padahal dalam praktek bisnis, keberadaan dokumen elektronik ini menjadi satu konsekuensi dalam perkembangan teknologi.
Jika suatu praktek bisnis yang menggunakan perangkat elektronik (komputer) dalam kegiatan bisnis, maka tidak ada satu alasan untuk tidak menyetarakan dengan tulisan asli. Ruang lingkupnya begitu luas, seperti persetujuan, rekaman, kompilasi data dalam berbagai bentuk. Termasuk, undang-undang, opini dan hasil diagnosa yang dihasilkan pada waktu transaksi itu dibuat atau yang dihasilkan melalui pertukaran informasi dengan menggunakan komputer.
B. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan terhadap Cybercrime
Upaya-upaya yang dilakukan proses pencegahan dan penanggulangan terhadap kasus cybercrime sebagai berikut :
1. Pembentukan Satuan Cybercrime di Polri :
Satuan cybercrime sudah terbentuk di dalam tubuh Polri, berdasarkan keterangan dari Yani (Penyidik Sat. Cybercrime) mengatakan bahwa satuan cybercrime yang ada saat sekarang ini baru ada dua, yakni satuan cybercrime yang dibentuk oleh Mabes Polri, dan kedua Satuan cybercrime yang dibentuk oleh Polda Metro Jaya. (wawancara tanggal 27 April 2005).
Dalam operasional satuan cybercrime tersebut, berada di bawah Direktorat Reserse Kriminal (Ditreskrimsus), Satuan cybercrime ini bertugas untuk mengejar dan menangkap pelaku kejahatan yang modus operandinya mengunakan sarana teknologi, Komputer ataupun internet. Salah satu kasus terbesar yang pernah ditangani oleh satuan ini adalah mengungkap kasus pembobolan situs KPU pada saat perhitungan suara Pemilu 2004.
2. Pelatihan dan Peningkatan Skill Terhadap Aparat Penegak Hukum dalam Bidang Cybercrime
Cybercrime merupakan kejahatan yang white collar crime yang membutuhkan tingkat kemahiran dan penguasaan teknologi yang cukup tinggi, sehingga untuk membendung tingkat kejahatan internet yang demikian pesat, tentunya aparat penegak hukum pun harus mampu menguasai seluk beluk teknologi dan dituntut untuk senantiasa mengikuti setiap perkembangan teknologi, Yani (Penyidik Sat. Cybercrime) menuturkan bahwa beberapa anggota dari satuan cybercrime sedang disekolahkan untuk lebih memperdalam segi keilmuan di bidang perkembangaan teknologi informasi, agar supaya diharapkan setiap case yang terjadi dan berkaitan dengan cybercrime penanganannya dapat dilakukan lebih baik.
Pelatihan tersebut biasanya diberikan oleh instruktur ahli yang langsung didatangkan dari luar negeri seperti inggris dengan materi-materi tentang teknik penguasaan komputer dan internet, serta teknik-teknik mengungkap kasus cybercrime yang pernah terjadi.
3. Pembuatan Undang-Undang Tentang Teknologi Informasi Sebagai Sarana Yuridis
Di Indonesia, undang-undang yang mengatur mengenai cybercrime belum ada, sehingga Indonesia sedang mencoba untuk membuat rancangan undang-undang tentang teknologi informasi. Kasus Bank DKI Cabang Pembantu Tebet Jakarta yang tidak dikategorikan sebagai kejahatan cybercrime, dikarenakan salah satu faktor adalah belum tersedianya undang-undang yang mengatur tentang cybercrime, ditambah lagi proses pembuktian terhadap barang-barang bukti yang berupa data-data digital belum dapat diajukan di depan pengadilan sebagai barang bukti yang sah, sehingga pada kenyataannya kasus bank DKI ini dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Menurut Susanto, SH (Penyidik Unit IV Sat Cybercrime), kekecewaan selalu ada di kalangan penyidik kasus cybercrime, karena kerap kali sebuah kasus cybercrime rampung mereka selesaikan hingga ke tingkat pengadilan, maka amar putusan pengadilan yang keluar menurutnya tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, karena putusan-putusan pengadilan selalu memberikan hukuman yang relative singkat. Hal tersebut dikarenakan perdebatan mengenai tindak pidana cybercrime hingga kini belum tuntas sehingga mengakibatkan rancangan undang-undang tentang teknologi informasi masih terhambat, oleh karena itu dia berharap agar supaya rancangan undang-undang tersebut dapat segera diundangkan agar supaya penentuan delik cybercrime dan ketentuan yang mengatur mengenai sanksi pidananya menjadi jelas dan proporsional. (wawancara tanggal 2 Mei 2005).
4. Melakukan tindakan-tindakan preventif
Bank DKI Cabang Pembantu Tebet Jakarta sebagai korban kejahatan, di mana bank dijadikan sebagai sarana kejahatan (kejahatan non konvensional), setelah peristiwa kejahatan tersebut, pihak bank melakukan perbaikan-perbaikan sistem keamanan (securitas) dan melakukan patch (penutupan) hole (celah) sistem yang dianggap rawan untuk dijadikan sebagai pintu kejahatan cybercrime, gambaran umum mengenai tipologi kasus kejahatan internet selalu dimulai dengan menggunakan perangkat komputer atau perangkat yang memiliki hubungan sistem dengan sistem operasi komputer,
Bilamana target/sasaran kejahatannya ditujukan kepada sebuah web site bank seperti www.klikbca.com, maka pelaku dapat memulai aksinya dengan melakukan teknik scan port (pencarian saluran) terhadap port-port yang terbuka terhadap situs sasaran. Apabila kemudian terdapat port yang terbuka, maka pelaku mulai mencari tahu tentang :
1. Sistem operasi web server sasaran
2. Program/aplikasi pembuatan web (situs) sasaran
3. Pola/sistem keamanan server sasaran, dan
4. Kelemahan-kelemahan sasaran lainnya
Sesudah mempelajari dan mengetahui tentang hal-hal di atas pelaku kemudian mencoba untuk masuk ke dalam web server tempat tersimpannya database web sasaran, dan jika pelaku berhasil masuk, maka pelaku pun dapat melakukan berbagai aktifitas hacker, mulai dari men-deface tampilan situs, mengubah dan menghapus database server, memanipulsi transaksi data situs dan lain sebagainya.
Dalam Kejahatan yang dilakukan di dunia nyata (real life), setelah beraksi pelaku biasanya berusaha menghapus jejak dan menghilangkan barang bukti demi penyelamatan diri, begitu pun di dalam dunia maya, pelaku juga dapat menghapus jejak (bukti) kejahatannya yang tersimpan sacara otomatis di dalam komputer sasaran yang biasanya tercatat di dalam log file, dan yang lebih parahnya lagi pelaku bias membuat backdoor (pintu belakang) yang berfungsi agar sewaktu-waktu pelaku ingin meng-hack situs sasaran tidak perlu lagi memulai dari cara awal seperti yang dijelaskan di atas.
Cara pembuatan backdoor ini biasanya dapat dilakukan dengan memasukkan file Trojan yang sudah ter-compile ke dalam bentuk file executable. Adapun file Trojan ini terbagi dua, yakni Trojan client dan Trojan server. Untuk Trojan client ditempatkan di dalam komputer pelaku sebagai pengendali dan Trojan server ditempatkan di dalam komputer sasaran sebagai file yang dikendalikan dari komputer pelaku.
Ketika backdoor ini sudah tereksekusi dengan baik di dalam komputer sasaran, maka kapan pun pelaku ingin kembali ke dalam komputer sasaran memiliki peluang yang sangat besar.
Adapun besaran anggaran yang dikeluarkan oleh pihak Bank DKI sebanyak dua miliyar rupiah. Besarnya harga pembiayaan perbaikan sistem keamanan bank tersebut dianggap tidak berlebihan, mengingat manfaat sistem securitas bank yang paling utama demi menjaga kredibilitas bank tetap terjaga di mata nasabah.
5. Melakukan Koordinasi dan Kerjasama di Bidang Cybercrime
Kejahatan internet yang selalu meninggalkan barang bukti berupa data digital, tidak semuanya langsung dapat dicerna oleh otak manusia, sebab data-data tersebut kadang-kadang masih bersifat data mentah. Data mentah tersebut harus diolah dan melalui berbagai teknik penterjemahan bahasa, dari bahasa program kepada bahasa yang lebih mudah dicerna oleh otak manusia secara langsung. Di dalam proses pengolahan data-data tersebut, selalu menggunakan aplikasi/program yang peruntukannya khusus buat proses penyidikan. Aplikasi-aplikasi tersebut dapat diperoleh secara gratis dengan men-download dari situs sumber dan ada juga yang diperoleh melalui pertukaran alat-alat penyidikan digital dengan negara-negara lainnya.
Maka upaya yang ditempuh untuk lebih mengoptimalkan pencegahan dan penanggulangan cybercrime, dilakukan kerjasama antar kepolisian negara-negara di dunia untuk saling membantu dalam proses pengolahan data yang sifatnya masih mentah tersebut demi menangkap pelaku. Polri dalam hubungan kerjasama dengan negara-negara lain untuk memberantas kasus-kasus cybercrime lebih banyak berhubungan dengan Negara Inggris. Hal ini sesuai dengan komentar Yani (Penyidik Sat. Cybercrime) bahwa bantuan alat penyidikan dan alat-alat forensik kebanyakan didapatkan dari negara inggris, begitupun mengenai informasi-informasi tentang perkembangan modus operandi kejahatan cybercrime dunia yang paling update
6. Penggunaan Undang-Undang yang Berhubungan dengan Teknologi Informasi
Kasus Bank DKI tidak dikategorikan sebagai kejahatan cybercrime, melainkan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Penyidik Polda Metro Jaya lebih mengedapankan kejahatan non konvensionalnya atau bank dijadikan sebagai sasaran/tujuan, sehingga penggunaan undang-undang tindak pidana korupsi adalah lebih tepat, kendatipun dalam kasus bank DKI ini juga terjadi kejahatan non konvensional atau bank dijadikan sebagai sarana/alat terjadinya kejahatan cybercrime tetapi karena pertimbangan dasar hukum mengenai kejahatan internet ini belum ada maka kasus tersebut tidak dikategorikan sebagai kejahatan internet.
Lebih lanjut Susanto (Penyidik Unit IV Sat. Cybercrime), mengatakan bahwa kebanyakan kasus-kasus cybercrime yang mereka tangani dijerat dengan ketentuan pidana yang terdapat dalam undang-undang telekomunikasi, sebab menurutnya undang-undang telekomunikasi cukup relevan dengan delik cybercrime. (wawancara tanggal 3 Mei 2005).
Sabtu, 29 Desember 2007
Cybercrime terhadap Bisnis Perbankan
Diposting oleh ANDI HENDRA AZIES di 08:02
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar